1. Legal Reserve Requirement (LRR)
Reserve Requirement adalah ketentuan bagi setiap bank umum untuk menysihkan sebagian dari dana pihak ketiga yang berhasil dihimpunnya dalam bentuk giro wajib minimum berupa rekening giro bank yang bersangkutan pada bank Indonesia atau lebih dikenal juga dengan likuiditas wajib minimum adalah sejumlah tertentu alat likuid yang harus tetap berada di bank untuk memenuhi likuiditas bank tersebut. Ketentuan likuiditas wajib minimum ini dibedakan dalam dua kategori perhitungan yaitu likuiditas wajib dalam rupiah dan likuiditas wajib dalam valuta asing.
Reserve Requirement dapat dirumuskan sebagai berikut:
LRR = Jumlah Alat likuid / jumlah dana( simpanan ) pihak ketiga
KEBIJAKAN MONETER
1. Definisi Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah Regulasi jumlah uang yang beredar dan tingkat suku bunga oleh bank sentral untuk mengendalikan inflasi dan menstabilkan mata uang. Jika ekonomi sedang memanas, bank sentral (seperti (BI) Bank Indonesia) dapat menarik uang dari sistem perbankan, menaikkan persyaratan cadangan atau menaikkan tingkat diskonto untuk membuatnya dingin. Jika pertumbuhan sedang melambat, dapat membalikkan proses – meningkatkan jumlah uang beredar, menurunkan kebutuhan cadangan dan menurunkan tingkat diskonto. Kebijakan moneter mempengaruhi suku bunga dan jumlah uang beredar.
2. Macam-macam Kebijakan Moneter
Berdasarkan jenisnya, Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar
2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policu)
3. Jenis-Jenis Instrumen Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4. Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
* jumlah uang berdar (Ms) diytentukan oleh dua factor, yaitu:
a. Besarnya jumlah uang inti (H) yang tersedia.
b. Besarnya koefisien pelipat uang,.
* besarnya uang inti di pengaruhi oleh empat factor, yaitu:
a. Keadaan neraca pembayaran (surplus dan deficit).
b. Keadaan APBN (surplus dan degisit)
c. Perubahan kredit langsung Bank Indonesia.
d. Perubahan keredit likuiditas bank Indonesia..
2. Loan To Deposit Ratio (LDR)
Rasio ini digunakan untuk menilai likuiditas suatu bank yang dengan cara membagi jumlah kredit yang diberikan oleh bank terhadap dana pihak ketiga. Semakin tinggi rasio ini, semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan semakin besar. Kredit yang diberikan tidak termasuk kredit kepada bank lain sedangkan untuk dana pihak ketiga adalah giro, tabungan, simpanan berjangka, sertifikat deposito.
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
LDR = kredit
Dana pihak ketiga
ket:
-Kredit merupakan kredit yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak termasuk kredit kepadabank lain).
- Dana pihak ketiga mencakup giro, tabungan, deposito (tidak termasuk giro dan deposito antar bank)
Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio antara besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan oleh bank dan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber yang pada awalnya digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas bank. Dalam arti apabila LDR di atas 110% berarti likuiditas bank kurang baik karena jumlah DPK tidak mampu menutup kredit yang disalurkan sehingga bank harus menggunakan dana antarbank (call money) untuk menutup kekurangannya. Dana dari call money bersifat darurat, sehingga seyogianya bank tidak menggunakan dana semacam itu untuk membiayai kredit. Dana call money adalah untuk membiayai mismatch likuiditas jangka sangat pendek.
Namun demikian, sejak terjadinya krisis perbankan dan dilanjukan dengan proses rekapitalisasi perbankan tahun 1999 di mana kredit perbankan sekitar Rp 300 triliun dialihkan ke BPPN, maka LDR perbankan langsung merosot drastis karena jumlah kredit berkurang sedangkan jumlah DPK tidak berubah. Begitu rendahnya angka LDR paska rekapitalisasi tahun 1999-2000, akhirnya angka LDR berubah fungsi dan lebih sering digunakan sebagai indikator utama untuk mengukur kemampuan sebuah bank dalam menyalurkan kredit (fungsi intermediasi).
pengertian lainnya LDR adalah rasio keuangan perusahaan perbankan yang berhubungan dengan aspek likuiditas. LDR adalah suatu pengukuran tradisional yang menunjukkan deposito berjangka, giro, tabungan, dan lain-lain yang digunakan dalam memenuhi permohonan pinjaman (loan requests) nasabahnya. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas. Rasio yang tinggi menunjukkan bahwasuatu bank meminjamkan seluruh dananya (loan-up) atau realtif tidak likuid (illiquid). Sebaliknya rasio yang rendah menunjukkan bank yang likuid dengan kelebihan kapasitas dana yang siap untuk dipinjamkan. LDR disebut juga rasio kredit terhadap total dana pihak ketiga yang digunakan untuk mengukur dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit.
Penyaluran kredit merupakan kegiatan utama bank, oleh karena itu sumber pendapatan utama bank berasal dari kegiatan ini. Semakin besarnya penyaluran dana dalam bentuk kredit dibandingkan dengan deposit atau simpanan masyarakat pada suatu bank membawa konsekuensi semakin besarnya risiko yang harus ditanggung oleh bank yang bersangkutan.
Menurut Mulyono, rasio LDR merupakan rasio perbandingan antara jumlah dana yang disalurkan ke masyarakat (kredit) dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan.
Rasio ini menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah pula kemampuan likuiditas bank. Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari LDR suatu bank adalah sekitar 85%. Namun batas toleransi berkisar antara 85%-100% atau menurut Kasmir (2003:272), batas aman untuk LDR menurut peraturan pemerintah adalah maksimum 110 %.
Tujuan penting dari perhitungan LDR adalah untuk mengetahui serta menilai sampai berapa jauh bank memiliki kondisi sehat dalam menjalankan operasiatau kegiatan usahanya. Dengan kata lain LDR digunakan sebagai suatu indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu bank.
Penyebab LDR Rendah
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa perbankan nasional pernah mengalami kemerosotan jumlah kredit karena diserahkan ke BPPN untuk ditukar dengan obligasi rekapitalisasi. Begitu besarnya nilai kredit yang keluar dari sistem perbankan di satu sisi dan semakin meningkatnya jumlah DPK yang masuk ke perbankan, maka upaya ekspansi kredit yang dilakukan perbankan selama sepuluh tahun terakhir sepertinya belum berhasil mengangkat angka LDR secara signifikan.
Fungsi LDR
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa LDR pada saat ini berfungsi sebagai indikator intermediasi perbankan. Begitu pentingnya arti LDR bagi perbankan maka angka LDR pada saat ini telah dijadikan persyaratan antara lain :
1). Sebagai salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan bank.
2). Sebagai salah satu indikator kriteria penilaian Bank Jangkar (LDR minimum 50%),
3). Sebagai faktor penentu besar-kecilnya GWM (Giro Wajib Minimum) sebuah bank.
4). Sebagai salah satu persyaratan pemberian keringanan pajak bagi bank yang akan merger.
Begitu pentingnya arti angka LDR, maka pemberlakuannya pada seluruh bank sedapat mungkin diseragamkan. Maksudnya, jangan sampai ada pengecualian perhitungan LDR di antara perbankan.
Aspek positif
1. Bank kecil akan terhindar dari risiko obligasi yang cukup kompleks, yaitu adanya risiko default (credit risk) dan risiko pasar (fluktuasi harga obligasi akibat volatilitas suku bunga pasar).
2. Karena kupon obligasi korporasi lebih tinggi dari pada suku bunga SBI, diharapkan ke depan, perbankan akan menggeser penempatan pada SBI menjadi obligasi korporasi. Hal ini akan menggairahkan pasar obligasi korporasi yang selama ini belum menjadi investasi utama perbankan. Apabila SBI perbankan per Juni 2007 sebesar Rp 202 triliun diasumsikan seluruhnya dipindahkan ke obligasi korporasi yang akan meningkatkan angka “Loan”, maka LDR perbankan per Juni 2007 yang semula sebesar 63,57% akan meningkat sebesar 14,91% atau menjadi 78,48%. Angka LDR tersebut akan lebih besar lagi jika obligasi korporasi yang saat ini telah dipegang perbankan juga dimasukkan sebagai komponen “Loan”.
Aspek negatif
Dimasukkannya obligasi korporasi dalam perhitungan LDR)
1. Nantinya hanya bank besar saja yang akan dapat menikmati peningkatan LDR tanpa harus melakukan ekspansi kredit. Dengan LDR yang tinggi maka bank tertentu akan dapat menjadi Bank Jangkar, Bank Sehat, dapat memperoleh insentif pajak ketika melakukan merger, dan yang akan secara langsung dinikmati adalah berkurangnya GWM terkait dengan perbaikan LDR.
2. Apabila besanya nilai obligasi korporasi tersebut terjadi akibat adanya pergeseran SBI, maka ada kemungkinan CAR (Capital Adequacy Perbankan) akan merosot karena ATMR SBI = 0, sedangkan ATMR Obligasi Korporasi = 100%.
3. Capital Adequacy Ratio(CAR)
CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari modal sendiri disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank.
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
CAR = Modal Bank / ATMR(Aktiva Terimbang Menurut Resiko)
ket:
-Perhitungan Modal dan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko dilakukan berdasarkan ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang berlaku.
Semakin tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR tinggi maka bank tersebut mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas.
Menurut Lukman Dendawijaya adalah ” Rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko ( kredit, penyertaan , surat berharga, tagihan pada bank lain ) ikut di biayai dari dana modal sendiri bank disamping memperoleh dana – dana dari sumber – sumber di luar bank , seperti dana dari masyarakat , pinjaman , dan lain – lain.
contohnya: bila anda mendapat Rp.1000/bulan dari orang tua, anda dapat menentukan sendiri berapa yang harus tetap menjadi uang setelah uang tersebut anda belanjakan (untuk ongkos, membeli buku, pulsa, rokok, dll).
sisa uang yang tetap menjadi uang tersebut dapat dianalogikan sebagai CAR di perbankan tersebut, setelah semua uang yang masuk dipotong untuk pemberian kredit, kpr, dll. dan CAR tersebut besarnya ditentukan oleh BI.
dan bila suatu bank itu CARnya 0% apalagi sudah minus, berarti bank tersebut sudah tidak mempunyai modal/uang/capital lagi.
4. Perhitungan Legal Lending Limit (LLL)
faktor Permodalan (Capital), Kualitas Aktiva Produktif (Asset), Manajemen, Rentabilitas (Earning) dan Likuiditas. Analisis ini dikenal dengan istilah Analisis CAMEL.
1. ASPEK PERMODALAN (CAPITAL)
Penilaian pertama adalah aspek permodalan, dimana aspek ini menilai permodalan yang dimiliki bank yang didasarkan kepada kewajiban penyediaan modal minimum bank. Penilaian tersebut didasarkan paa CAR (Capital Adequacy Ratio) yang ditetapkan BI, yaitu perbandingan antara Modal dengan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko.
2. ASPEK KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF (ASSET )
Aktiva produktif atau Productive Assets atau sering disebut dengan Earning Assets adalah semua aktiva yang dimiliki oleh bank dengan maksud untuk dapat memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya. Ada empat macam jenis aktiva produktif yaitu :
a. Kredit yang diberikan
b. Surat berharga
c. Penempatan dana pada bank lain
d. Penyertaan
Penilaian aset, sesuai dengan Peraturan BI adalah dengan membandingkan antara aktiva produktif yang diklasifikasikan dengan aktiva produktif. Selain itu juga rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif terhadap aktiva produktif yang diklasifikasikan. Klasifikasi aktiva produktif merupakan aktiva produktif yang telah dilihat kolektabilitasnya, yaitu lancar, kurang lancar, diragukan dan macet.
3. ASPEK KUALITAS MANAJEMEN (MANAGEMENT)
Aspek ketiga penilaian kesehatan bank meliputi kualitas manajemen bank. Untuk menilai kualitas manajemen akan mengajukan 250 pertanyaan yang menyangkut manajemen bank yang bersangkutan. Kualitas ini juga akan melihat dari segi pendidikan serta pengalaman para karyawannya dalam menangani bebagai kasus yang terjadi.
4. ASPEK RENTABILITAS (EARNING)
Penilaian aspek ini diguankan untuk mengukur kemampuan bank dalam meningkatkan keuntungan, juga untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai bank yang bersangkutan. Penilaian ini meliputi ROA atau Rasio Laba terhadap Total Aset, dan Perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional (BOPO).
5. ASPEK LIKUIDITAS (LIKUIDITY)
Aspek kelima adapah penilaian terhadap aspek likuiditas bank. Suatu bank dikatakan likuid, apabila bank yang bersangkutan mampu membayar semua hutangnya, terutama hutang-hutang jangka pendek. Selain itu juga bank harus mampu memenuhi semua permohonan kredit yang layak dibiayai. Penilaian dalam aspek ini meliputi :
a. Rasio kewajiabn bersih Call Money terhadap Aktiva Lancar
b. Rasio kredit terhadap dana yang diterima oelh bank seperti KLBI, Giro, Tabungan, deposito dan lain-lain.
Seraca umum penilaian tingkat kesehatan bank dapat dirangkum sebagai berikut :
Jumlah bobot untuk kelima faktor tersebut adalah 100%. Nilai kredit kemudian digunakan untuk menentukan predikat kesehatan bank, ditetapkan sebagai berikut :
Disamping penilaian analisis CAMEL, kesehatan bank juga dipengaruhi hasil penilaian lainnya, yaitu penilaian terhadap :
1. Ketentauan pelaksanaan pemberian kredit Usaha Kesil (KUK) dan pelaksanaan Kredit Eksport
2. Pelanggaran terhadap ketantuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atau sering disebut dengan Legal Lending Limit.
3. Pelanggaran Posisi Devisa Netto.
5. Non Performing Loan(NPL)
Non performing loan adalah kredit yang masuk ke dalam kualitas kredit kurang lancar, diragukan dan macet berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (SE No. 7/3/DPNP). NPL yang digunakan dalam penelitian ini merupakan angka perubahan NPL bulan Desember 2008 dan Januari 2009, dengan kategori 1 = meningkat, 0 = menurun atau tetap.
Rumus untuk menghitung rasio NPL : kredit bermasalah
Total kredit
-Kredit merupakan kredit yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak termasuk kredit kepada bank lain).
-Kredit bermasalah adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet.
Beberapa Hal Yang Mempengaruhi NPL Suatu Perbankan :
Menurut pendapat penulis terdapat beberapa hal yang mempengaruhi atau dapat menyebabkan naik turunnya NPL suatu bank, diantaranya dalah sebagai berikut:
a. Kemauan atau itikad baik debitur
Kemampuan debitur dari sisi financial untuk melunasi pokok dan bunga pinjaman tidak akan ada artinya tanpa kemauan dan itikad baik dari debitur itu sendiri.
b. Kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia
Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi tinggi rendahnya NPL suatu perbankan, misalnya kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga BBM akan menyebabkan perusahaan yang banyak menggunakan BBM dalam kegiatan produksinya akan membutuhkan dana tambahan yang diambil dari laba yang dianggarkan untuk pembayaran cicilan utang untuk memenuhi biaya produksi yang tinggi, sehingga perusahaan tersebut akan mengalami kesulitan dalam membayar utang-utangnya kepada bank. Demikian juga halnya dengan PBI, peraturan-peraturan Bank Indonesia mempunyai pengaruh lansung maupun tidak lansung terhadap NPL suatu bank. Misalnya BI menaikan BI Rate yang akan menyebabkan suku bunga kredit ikut naik, dengan sendirinya kemampuan debitur dalam melunasi pokok dan bunga pinjaman akan berkurang.
c. Kondisi perekonomian
Kondisi perekonomian mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemampuan debitur dalam melunasi utang-utangnya. Indikator-indikator ekonomi makro yang mempunyai pengaruh terhadap NPL diantaranya adalah sebagai berikut:
* Inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga secara menyeluruh dan terus menerus. Inflasi yang tinggi dapat menyebabkan kemampuan debitur untuk melunasi utang-utangnya berkurang.
* Kurs rupiah
Kurs rupiah mempunayai pengaruh juga terhadap NPL suatu bank karena aktivitas debitur perbankan tidak hanya bersifat nasioanal tetapi juga internasional.
6. Net Interest Margin (NIM)
Marjin bunga bersih (NIM) adalah ukuran perbedaan antara bunga pendapatan yang dihasilkan oleh bank atau lembaga keuangan lain dan nilai bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman mereka (misalnya, deposito), relatif terhadap jumlah mereka (bunga produktif ) aset. Hal ini mirip dengan margin kotor perusahaan non-finansial.
Hal ini biasanya dinyatakan sebagai persentase dari apa lembaga keuangan memperoleh pinjaman dalam periode waktu dan aset lainnya dikurangi bunga yang dibayar atas dana pinjaman dibagi dengan jumlah rata-rata atas aktiva tetap pada pendapatan yang diperoleh dalam jangka waktu tersebut (yang produktif rata-rata aktiva).
Margin bunga bersih mirip dalam konsep untuk menyebarkan bunga bersih , namun penyebaran bunga bersih adalah selisih rata-rata nominal antara pinjaman dan suku bunga pinjaman, tanpa kompensasi untuk kenyataan bahwa aktiva produktif dan dana yang dipinjam dapat menjadi alat yang berbeda dan berbeda dalam volume. Margin bunga bersih sehingga dapat lebih tinggi (atau kadang-kadang lebih rendah) daripada penyebaran bunga bersih.
Menghitung rasio NIM : Pendapatan bunga bersih
Rata-rata aktiva produktif
-Pendapatan bunga bersih : Pendapatan Bunga – Beban bunga
-Pendapatan bunga bersih disetahunkan.
-Contoh : Untuk posisi Juni : (akumulasi pendapatan bunga bersih per posisi Juni/6)x12
-Aktiva produktif yang diperhitungkan adalah aktiva produktif yang menghasilkan bunga (interest bearing assets)
Perhitungan :
NIM dihitung sebagai persentase dari aset dikenakan bunga. Sebagai contoh, rata-rata pinjaman bank untuk nasabah adalah $ 100,00 dalam setahun sementara itu memperoleh pendapatan bunga sebesar $ 6,00 dan bunga yang dibayar sebesar $ 3,00. NIM kemudian dihitung sebagai ($ 6,00 – $ 3,00) / $ 100,00 = 3%. Pendapatan bunga bersih sama dengan bunga yang diperoleh dikurangi bunga yang dibayarkan kepada pelanggan.
Reserve Requirement dapat dirumuskan sebagai berikut:
LRR = Jumlah Alat likuid / jumlah dana( simpanan ) pihak ketiga
KEBIJAKAN MONETER
1. Definisi Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah Regulasi jumlah uang yang beredar dan tingkat suku bunga oleh bank sentral untuk mengendalikan inflasi dan menstabilkan mata uang. Jika ekonomi sedang memanas, bank sentral (seperti (BI) Bank Indonesia) dapat menarik uang dari sistem perbankan, menaikkan persyaratan cadangan atau menaikkan tingkat diskonto untuk membuatnya dingin. Jika pertumbuhan sedang melambat, dapat membalikkan proses – meningkatkan jumlah uang beredar, menurunkan kebutuhan cadangan dan menurunkan tingkat diskonto. Kebijakan moneter mempengaruhi suku bunga dan jumlah uang beredar.
2. Macam-macam Kebijakan Moneter
Berdasarkan jenisnya, Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar
2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policu)
3. Jenis-Jenis Instrumen Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4. Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
* jumlah uang berdar (Ms) diytentukan oleh dua factor, yaitu:
a. Besarnya jumlah uang inti (H) yang tersedia.
b. Besarnya koefisien pelipat uang,.
* besarnya uang inti di pengaruhi oleh empat factor, yaitu:
a. Keadaan neraca pembayaran (surplus dan deficit).
b. Keadaan APBN (surplus dan degisit)
c. Perubahan kredit langsung Bank Indonesia.
d. Perubahan keredit likuiditas bank Indonesia..
2. Loan To Deposit Ratio (LDR)
Rasio ini digunakan untuk menilai likuiditas suatu bank yang dengan cara membagi jumlah kredit yang diberikan oleh bank terhadap dana pihak ketiga. Semakin tinggi rasio ini, semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan semakin besar. Kredit yang diberikan tidak termasuk kredit kepada bank lain sedangkan untuk dana pihak ketiga adalah giro, tabungan, simpanan berjangka, sertifikat deposito.
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
LDR = kredit
Dana pihak ketiga
ket:
-Kredit merupakan kredit yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak termasuk kredit kepadabank lain).
- Dana pihak ketiga mencakup giro, tabungan, deposito (tidak termasuk giro dan deposito antar bank)
Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio antara besarnya seluruh volume kredit yang disalurkan oleh bank dan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber yang pada awalnya digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas bank. Dalam arti apabila LDR di atas 110% berarti likuiditas bank kurang baik karena jumlah DPK tidak mampu menutup kredit yang disalurkan sehingga bank harus menggunakan dana antarbank (call money) untuk menutup kekurangannya. Dana dari call money bersifat darurat, sehingga seyogianya bank tidak menggunakan dana semacam itu untuk membiayai kredit. Dana call money adalah untuk membiayai mismatch likuiditas jangka sangat pendek.
Namun demikian, sejak terjadinya krisis perbankan dan dilanjukan dengan proses rekapitalisasi perbankan tahun 1999 di mana kredit perbankan sekitar Rp 300 triliun dialihkan ke BPPN, maka LDR perbankan langsung merosot drastis karena jumlah kredit berkurang sedangkan jumlah DPK tidak berubah. Begitu rendahnya angka LDR paska rekapitalisasi tahun 1999-2000, akhirnya angka LDR berubah fungsi dan lebih sering digunakan sebagai indikator utama untuk mengukur kemampuan sebuah bank dalam menyalurkan kredit (fungsi intermediasi).
pengertian lainnya LDR adalah rasio keuangan perusahaan perbankan yang berhubungan dengan aspek likuiditas. LDR adalah suatu pengukuran tradisional yang menunjukkan deposito berjangka, giro, tabungan, dan lain-lain yang digunakan dalam memenuhi permohonan pinjaman (loan requests) nasabahnya. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas. Rasio yang tinggi menunjukkan bahwasuatu bank meminjamkan seluruh dananya (loan-up) atau realtif tidak likuid (illiquid). Sebaliknya rasio yang rendah menunjukkan bank yang likuid dengan kelebihan kapasitas dana yang siap untuk dipinjamkan. LDR disebut juga rasio kredit terhadap total dana pihak ketiga yang digunakan untuk mengukur dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit.
Penyaluran kredit merupakan kegiatan utama bank, oleh karena itu sumber pendapatan utama bank berasal dari kegiatan ini. Semakin besarnya penyaluran dana dalam bentuk kredit dibandingkan dengan deposit atau simpanan masyarakat pada suatu bank membawa konsekuensi semakin besarnya risiko yang harus ditanggung oleh bank yang bersangkutan.
Menurut Mulyono, rasio LDR merupakan rasio perbandingan antara jumlah dana yang disalurkan ke masyarakat (kredit) dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan.
Rasio ini menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah pula kemampuan likuiditas bank. Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari LDR suatu bank adalah sekitar 85%. Namun batas toleransi berkisar antara 85%-100% atau menurut Kasmir (2003:272), batas aman untuk LDR menurut peraturan pemerintah adalah maksimum 110 %.
Tujuan penting dari perhitungan LDR adalah untuk mengetahui serta menilai sampai berapa jauh bank memiliki kondisi sehat dalam menjalankan operasiatau kegiatan usahanya. Dengan kata lain LDR digunakan sebagai suatu indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu bank.
Penyebab LDR Rendah
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa perbankan nasional pernah mengalami kemerosotan jumlah kredit karena diserahkan ke BPPN untuk ditukar dengan obligasi rekapitalisasi. Begitu besarnya nilai kredit yang keluar dari sistem perbankan di satu sisi dan semakin meningkatnya jumlah DPK yang masuk ke perbankan, maka upaya ekspansi kredit yang dilakukan perbankan selama sepuluh tahun terakhir sepertinya belum berhasil mengangkat angka LDR secara signifikan.
Fungsi LDR
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa LDR pada saat ini berfungsi sebagai indikator intermediasi perbankan. Begitu pentingnya arti LDR bagi perbankan maka angka LDR pada saat ini telah dijadikan persyaratan antara lain :
1). Sebagai salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan bank.
2). Sebagai salah satu indikator kriteria penilaian Bank Jangkar (LDR minimum 50%),
3). Sebagai faktor penentu besar-kecilnya GWM (Giro Wajib Minimum) sebuah bank.
4). Sebagai salah satu persyaratan pemberian keringanan pajak bagi bank yang akan merger.
Begitu pentingnya arti angka LDR, maka pemberlakuannya pada seluruh bank sedapat mungkin diseragamkan. Maksudnya, jangan sampai ada pengecualian perhitungan LDR di antara perbankan.
Aspek positif
1. Bank kecil akan terhindar dari risiko obligasi yang cukup kompleks, yaitu adanya risiko default (credit risk) dan risiko pasar (fluktuasi harga obligasi akibat volatilitas suku bunga pasar).
2. Karena kupon obligasi korporasi lebih tinggi dari pada suku bunga SBI, diharapkan ke depan, perbankan akan menggeser penempatan pada SBI menjadi obligasi korporasi. Hal ini akan menggairahkan pasar obligasi korporasi yang selama ini belum menjadi investasi utama perbankan. Apabila SBI perbankan per Juni 2007 sebesar Rp 202 triliun diasumsikan seluruhnya dipindahkan ke obligasi korporasi yang akan meningkatkan angka “Loan”, maka LDR perbankan per Juni 2007 yang semula sebesar 63,57% akan meningkat sebesar 14,91% atau menjadi 78,48%. Angka LDR tersebut akan lebih besar lagi jika obligasi korporasi yang saat ini telah dipegang perbankan juga dimasukkan sebagai komponen “Loan”.
Aspek negatif
Dimasukkannya obligasi korporasi dalam perhitungan LDR)
1. Nantinya hanya bank besar saja yang akan dapat menikmati peningkatan LDR tanpa harus melakukan ekspansi kredit. Dengan LDR yang tinggi maka bank tertentu akan dapat menjadi Bank Jangkar, Bank Sehat, dapat memperoleh insentif pajak ketika melakukan merger, dan yang akan secara langsung dinikmati adalah berkurangnya GWM terkait dengan perbaikan LDR.
2. Apabila besanya nilai obligasi korporasi tersebut terjadi akibat adanya pergeseran SBI, maka ada kemungkinan CAR (Capital Adequacy Perbankan) akan merosot karena ATMR SBI = 0, sedangkan ATMR Obligasi Korporasi = 100%.
3. Capital Adequacy Ratio(CAR)
CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari modal sendiri disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank.
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
CAR = Modal Bank / ATMR(Aktiva Terimbang Menurut Resiko)
ket:
-Perhitungan Modal dan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko dilakukan berdasarkan ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang berlaku.
Semakin tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR tinggi maka bank tersebut mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas.
Menurut Lukman Dendawijaya adalah ” Rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko ( kredit, penyertaan , surat berharga, tagihan pada bank lain ) ikut di biayai dari dana modal sendiri bank disamping memperoleh dana – dana dari sumber – sumber di luar bank , seperti dana dari masyarakat , pinjaman , dan lain – lain.
contohnya: bila anda mendapat Rp.1000/bulan dari orang tua, anda dapat menentukan sendiri berapa yang harus tetap menjadi uang setelah uang tersebut anda belanjakan (untuk ongkos, membeli buku, pulsa, rokok, dll).
sisa uang yang tetap menjadi uang tersebut dapat dianalogikan sebagai CAR di perbankan tersebut, setelah semua uang yang masuk dipotong untuk pemberian kredit, kpr, dll. dan CAR tersebut besarnya ditentukan oleh BI.
dan bila suatu bank itu CARnya 0% apalagi sudah minus, berarti bank tersebut sudah tidak mempunyai modal/uang/capital lagi.
4. Perhitungan Legal Lending Limit (LLL)
faktor Permodalan (Capital), Kualitas Aktiva Produktif (Asset), Manajemen, Rentabilitas (Earning) dan Likuiditas. Analisis ini dikenal dengan istilah Analisis CAMEL.
1. ASPEK PERMODALAN (CAPITAL)
Penilaian pertama adalah aspek permodalan, dimana aspek ini menilai permodalan yang dimiliki bank yang didasarkan kepada kewajiban penyediaan modal minimum bank. Penilaian tersebut didasarkan paa CAR (Capital Adequacy Ratio) yang ditetapkan BI, yaitu perbandingan antara Modal dengan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko.
2. ASPEK KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF (ASSET )
Aktiva produktif atau Productive Assets atau sering disebut dengan Earning Assets adalah semua aktiva yang dimiliki oleh bank dengan maksud untuk dapat memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya. Ada empat macam jenis aktiva produktif yaitu :
a. Kredit yang diberikan
b. Surat berharga
c. Penempatan dana pada bank lain
d. Penyertaan
Penilaian aset, sesuai dengan Peraturan BI adalah dengan membandingkan antara aktiva produktif yang diklasifikasikan dengan aktiva produktif. Selain itu juga rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif terhadap aktiva produktif yang diklasifikasikan. Klasifikasi aktiva produktif merupakan aktiva produktif yang telah dilihat kolektabilitasnya, yaitu lancar, kurang lancar, diragukan dan macet.
3. ASPEK KUALITAS MANAJEMEN (MANAGEMENT)
Aspek ketiga penilaian kesehatan bank meliputi kualitas manajemen bank. Untuk menilai kualitas manajemen akan mengajukan 250 pertanyaan yang menyangkut manajemen bank yang bersangkutan. Kualitas ini juga akan melihat dari segi pendidikan serta pengalaman para karyawannya dalam menangani bebagai kasus yang terjadi.
4. ASPEK RENTABILITAS (EARNING)
Penilaian aspek ini diguankan untuk mengukur kemampuan bank dalam meningkatkan keuntungan, juga untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai bank yang bersangkutan. Penilaian ini meliputi ROA atau Rasio Laba terhadap Total Aset, dan Perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional (BOPO).
5. ASPEK LIKUIDITAS (LIKUIDITY)
Aspek kelima adapah penilaian terhadap aspek likuiditas bank. Suatu bank dikatakan likuid, apabila bank yang bersangkutan mampu membayar semua hutangnya, terutama hutang-hutang jangka pendek. Selain itu juga bank harus mampu memenuhi semua permohonan kredit yang layak dibiayai. Penilaian dalam aspek ini meliputi :
a. Rasio kewajiabn bersih Call Money terhadap Aktiva Lancar
b. Rasio kredit terhadap dana yang diterima oelh bank seperti KLBI, Giro, Tabungan, deposito dan lain-lain.
Seraca umum penilaian tingkat kesehatan bank dapat dirangkum sebagai berikut :
Jumlah bobot untuk kelima faktor tersebut adalah 100%. Nilai kredit kemudian digunakan untuk menentukan predikat kesehatan bank, ditetapkan sebagai berikut :
Disamping penilaian analisis CAMEL, kesehatan bank juga dipengaruhi hasil penilaian lainnya, yaitu penilaian terhadap :
1. Ketentauan pelaksanaan pemberian kredit Usaha Kesil (KUK) dan pelaksanaan Kredit Eksport
2. Pelanggaran terhadap ketantuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) atau sering disebut dengan Legal Lending Limit.
3. Pelanggaran Posisi Devisa Netto.
5. Non Performing Loan(NPL)
Non performing loan adalah kredit yang masuk ke dalam kualitas kredit kurang lancar, diragukan dan macet berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (SE No. 7/3/DPNP). NPL yang digunakan dalam penelitian ini merupakan angka perubahan NPL bulan Desember 2008 dan Januari 2009, dengan kategori 1 = meningkat, 0 = menurun atau tetap.
Rumus untuk menghitung rasio NPL : kredit bermasalah
Total kredit
-Kredit merupakan kredit yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak termasuk kredit kepada bank lain).
-Kredit bermasalah adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet.
Beberapa Hal Yang Mempengaruhi NPL Suatu Perbankan :
Menurut pendapat penulis terdapat beberapa hal yang mempengaruhi atau dapat menyebabkan naik turunnya NPL suatu bank, diantaranya dalah sebagai berikut:
a. Kemauan atau itikad baik debitur
Kemampuan debitur dari sisi financial untuk melunasi pokok dan bunga pinjaman tidak akan ada artinya tanpa kemauan dan itikad baik dari debitur itu sendiri.
b. Kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia
Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi tinggi rendahnya NPL suatu perbankan, misalnya kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga BBM akan menyebabkan perusahaan yang banyak menggunakan BBM dalam kegiatan produksinya akan membutuhkan dana tambahan yang diambil dari laba yang dianggarkan untuk pembayaran cicilan utang untuk memenuhi biaya produksi yang tinggi, sehingga perusahaan tersebut akan mengalami kesulitan dalam membayar utang-utangnya kepada bank. Demikian juga halnya dengan PBI, peraturan-peraturan Bank Indonesia mempunyai pengaruh lansung maupun tidak lansung terhadap NPL suatu bank. Misalnya BI menaikan BI Rate yang akan menyebabkan suku bunga kredit ikut naik, dengan sendirinya kemampuan debitur dalam melunasi pokok dan bunga pinjaman akan berkurang.
c. Kondisi perekonomian
Kondisi perekonomian mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemampuan debitur dalam melunasi utang-utangnya. Indikator-indikator ekonomi makro yang mempunyai pengaruh terhadap NPL diantaranya adalah sebagai berikut:
* Inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga secara menyeluruh dan terus menerus. Inflasi yang tinggi dapat menyebabkan kemampuan debitur untuk melunasi utang-utangnya berkurang.
* Kurs rupiah
Kurs rupiah mempunayai pengaruh juga terhadap NPL suatu bank karena aktivitas debitur perbankan tidak hanya bersifat nasioanal tetapi juga internasional.
6. Net Interest Margin (NIM)
Marjin bunga bersih (NIM) adalah ukuran perbedaan antara bunga pendapatan yang dihasilkan oleh bank atau lembaga keuangan lain dan nilai bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman mereka (misalnya, deposito), relatif terhadap jumlah mereka (bunga produktif ) aset. Hal ini mirip dengan margin kotor perusahaan non-finansial.
Hal ini biasanya dinyatakan sebagai persentase dari apa lembaga keuangan memperoleh pinjaman dalam periode waktu dan aset lainnya dikurangi bunga yang dibayar atas dana pinjaman dibagi dengan jumlah rata-rata atas aktiva tetap pada pendapatan yang diperoleh dalam jangka waktu tersebut (yang produktif rata-rata aktiva).
Margin bunga bersih mirip dalam konsep untuk menyebarkan bunga bersih , namun penyebaran bunga bersih adalah selisih rata-rata nominal antara pinjaman dan suku bunga pinjaman, tanpa kompensasi untuk kenyataan bahwa aktiva produktif dan dana yang dipinjam dapat menjadi alat yang berbeda dan berbeda dalam volume. Margin bunga bersih sehingga dapat lebih tinggi (atau kadang-kadang lebih rendah) daripada penyebaran bunga bersih.
Menghitung rasio NIM : Pendapatan bunga bersih
Rata-rata aktiva produktif
-Pendapatan bunga bersih : Pendapatan Bunga – Beban bunga
-Pendapatan bunga bersih disetahunkan.
-Contoh : Untuk posisi Juni : (akumulasi pendapatan bunga bersih per posisi Juni/6)x12
-Aktiva produktif yang diperhitungkan adalah aktiva produktif yang menghasilkan bunga (interest bearing assets)
Perhitungan :
NIM dihitung sebagai persentase dari aset dikenakan bunga. Sebagai contoh, rata-rata pinjaman bank untuk nasabah adalah $ 100,00 dalam setahun sementara itu memperoleh pendapatan bunga sebesar $ 6,00 dan bunga yang dibayar sebesar $ 3,00. NIM kemudian dihitung sebagai ($ 6,00 – $ 3,00) / $ 100,00 = 3%. Pendapatan bunga bersih sama dengan bunga yang diperoleh dikurangi bunga yang dibayarkan kepada pelanggan.