Senin, 21 Maret 2011

Softskill 2 (Demokrasi)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Budaya demokrasi sudah dilaksanakan oleh nenek moyang kita sejak lama. Semua masalah senantiasa dimuyawarahkan sehingga permasalahan yang dihadapi dapat terpecahkan dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan adanya musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan. Kelebihan musyawarah adalah hasil keputusan dapat diterima dan dapat dipertanggungjawabkan karena dispakati orang banyak, mengandung aspirasi orang banyak , dan diperoleh dengan cara yang demokratis.
Sepanjang masa kemerdekaannya, bangsa Indonesia telah mencoba menerapkan bermacam-macam demokrasi. Hingga tahun 1959, dijalankan suatu praktik demokrasi yang cenderung pada sistem Demokrasi Liberal, sebagaimana berlaku di negara-negara Barat yang bersifat individualistik.
Pada tahun 1959-1966 diterapkan Demokrasi Terpimpin, yang dalam praktiknya cenderung otoriter. Mulai tahun 1966 hingga berakhirnya masa Orde Baru pada tahun 1998 diterapkan
Demokrasi Pancasila. Model ini pun tidak mendorong tumbuhnya partisipasi rakyat. Berbagai macam demokrasi yang diterapkan di Indonesia itu pada umumnya belum sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, karena tidak tersedianya ruang yang cukup untuk mengekspresikan
kebebasan warga negara. Berdasar pengalaman sejarah, tidak sedikit penguasa yang cenderung bertindak otoriter, diktaktor, membatasi partisipasi rakyat dan lain-lain. Mengapa demikian? Ya, sebab penguasa itu sering merasa terganggu kekusaannya akibat partisipasi rakyat terhadap pemerintahan. Partisipasi itu dapat berupa usul, saran, kritik, protes, unjuk rasa atau penggunaan kebebasan menyatakan pendapat lainnya. Sesudah bergulirnya reformasi pada tahun 1998, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan memilih, kebebasan berpolitik dan lain-lain.

1.2     Tujuan

1.2.1        Mengajak masyarakat Indonesia untuk menjunjung tinggi demokrasi
1.2.2        Memberikan arti demokrasi yang sebenarnya kepada masyarakat Indonesia

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Demokrasi

Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang.

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.

2.2  Demokrasi dalam Berbagai Aspek Kehidupan

2.2.1        Demokrasi dalam Keluarga

Mendengar istilah demokrasi, pikiran dan asosiasi kita mungkin tertuju pada persoalan politik dan kekuasaan. Padahal sesungguhnya demokrasi tidak selalu berurusan dengan politik dan bukan semata-mata urusannya orang partai. Akan tetapi demokrasi adalah menjadi hak dan milik setiap orang yang hidup dalam suatu negara demokrasi, termasuk demokrasi dalam rumah tangga (keluarga).

Demokrasi sebagai suatu proses, persemaiannya berawal dari rumah tangga yang harmonis (sakinah). Sementara di dalam rumah (keluarga) yang tidak harmonis, mustahil demokrasi bisa disemai. Implikasi demokrasi rumah tangga antara lain:

Pertama, tidak ada diskriminasi. Keluarga sakinah merupakan manifestasi dari keluarga demokratis. Dalam keluarga demokratis tidak membeda-bedakan antara anak yang satu dengan yang lain. Semua anggota di dalam rumah diperlakukan sama.
Kedua, semua anggota rumah tangga bebas menentukan keinginan. Rumah tangga yang demokratis memberikan kebebasan kepada anggota keluarganya untuk menentukan sikap. Seorang ayah yang demokrat tentu tidak memaksakan kehendak kepada anaknya dalam menentukan pilihan. Yang terjadi justeru komunikasi yang sehat antara anak dan orangtua untuk menetapkan suatu pilihan.
Ketiga, tidak ada kekerasan. Ciri rumah tangga yang demokrasi antara lain tidak memperlakukan tindakan kekerasan dalam proses mendidik dan membina anggota keluarga. Sebab kewibawaan orang tua tidak selalu berawal dari sikap yang keras. Seorang ayah yang demokrat senantiasa memberikan alternatif terbaik bagi anak-anaknya, bukan bertindak semena-mena.

Demokrasi bukan berarti kebebasan. Jika demokrasi diartikan suatu kebebasan, maka demokrasi beralih menjadi tindakan anarkis. Tindakan anarkisme sangat bertentangan dengan prinsif-prinsif demokrasi. Prinsif demokrasi sesungguhnya adalah menghargai hak dan kewajiban orang lain di atas segalanya. Oleh karena itu, agar demokrasi tidak menjadi anarkis, akan memerlukan seperangkat perundang-undangan, peraturan dan penegakan hukum.

Penegakan hukum yang adil dan jujur di alam demokrasi sangat penting dan urgen. Sebab dengan adanya perangkat hukum yang adil dan jujur akan melahirkan masyarakat yang taat dan disiplin kepada hukum. Di sinilah esensi dan nilai-nilai demokrasi bisa diaplikasikan. Penanaman disiplin pada prinsifnya adalah untuk mencetak perilaku demokrasi. Perilaku yang demokratis melahirkan perilaku berbudaya. Dengan demikian, seseorang yang tidak mau menghargai hak dan kewajiban orang lain, meremehkan dan berlaku semena-mena pada orang lain, dapat dikatakan tidak berbudaya.

Perilaku berbudaya akan membentuk karakteristik seseorang ke arah perilaku demokratis. Perilaku yang tidak demokratis cenderung anarkis dan otoriter. Sikap otoriter atau kekuasaan tangan besi sungguh tidak sesuai lagi diterapkan pasca Orde Baru karena kontra produktif.

Para era reformasi menuju masyarakat madani, asas demokrasi di segala bidang mutlak ditegakkan. Upaya penegakan asas-asas demokrasi bermula dari keluarga atau pada institusi paling kecil yang yakni rumah tangga. Seorang anak sejak kecil harus dididik untuk berlaku sopan kepada pembantu rumah tangga. Anak-anak harus dibiasakan untuk tidak bersikap semena-mena terhadap orang lain, termasuk kepada seorang supir pribadi orang tuanya.

Dari beberapa problematika anak muda yang tampil dalam perilaku remaja dewasa ini, kiranya perlu kita mengetahui urgensi demokrasi di dalam rumah. Urgensi demokrasi adalah bagaimana memperlakukan manusia sebagai manusia. Dalam proses pendidikan demokrasi, anak meskinya tidak selalu hanya berperan sebagai objek, akan tetapi sudah saatnya anak dilibatkan secara aktif dalam memecahkan persoalan di rumah. Persepsi dan perilaku anak terhadap nilai-nilai demokrasi sangat tergantung dari sejauhmana orang tua mampu memberikan ruang gerak kepada anak untuk mengembangkan dirinya tanpa ada rasa tertekan dan rasa takut.

Pada umumnya anak-anak yang tidak dididik dengan dasar demokrasi akan cenderung berperilaku nakal. Kenakalan anak merupakan pelampiasan kegoncangan jiwa yang sebab utamanya adalah suasana rumah tangga (keluarga) yang tidak stabil (ibu dan ayah tidak bisa menciptakan suasana yang harmonis), kurangnya perhatian yang wajar dari orang tua terhadap anak-anak (remaja). Karena itu, sasaran penanggulangan yang pertama adalah pada orang tua.

Dalam upaya menanamkan nilai-nilai demokrasi kepada anak, antara lain dapat dilakukan dengan memberikan pengertian dan perhatian kepada mereka melalui sikap, tindakan dan ucapan yang menyegarkan. Selalu membantu mereka menemukan rasa aman dengan jalan menunjukkan dan memahami rasa cemas dan bingung, lalu memberikan harapan-harapan baru.

Tumbuhan perasaan sayang, terlepas dari tindakan tingkah laku dan perbuatan mereka yang kurang menyenangkan. Selanjutnya jangan mengkritik dan mencela anak, berikan kebebasan dalam batas-batas tertentu, dengan cara mendengar dan memperhatikan pendapat mereka, kemudian berikan kesan bahwa agama merupakan kebutuhan pertama dan utama bagi hidup dan kehidupan mereka.

2.2.2        Demokrasi di Sekolah
Sejak reformasi bergulir di negeri ini, atmosfer demokrasi berhembus kencang di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Masyarakat pun menyambut “paradaban” baru itu dengan antusias. Kebebasan yang terpasung bertahun-tahun lamanya kembali berkibar di atas panggung kehidupan sosial.
Meskipun demikian, atomsfer demokrasi itu tampaknya belum diimbangi dengan kemaTangan, kedewasaan, dan kearifan, sehingga kebebasan seolah-olah berubah menjadi “hukum rimba”. Mereka yang tidak sepaham dianggap sebagai “kerikil” demokrasi yang mesti disingkirkan. Contoh paling nyata adalah meruyaknya berbagai aksi kekerasan yang menyertai perhelatan pilkada di berbagai daerah beberapa waktu yang lalu. Pihak yang kalah bertarung tidak mau menerima kekalahan dengan sikap lapang dada. Jika perlu, mereka memaksakan diri untuk melakukan tindakan anarki yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin benih-benih demokrasi di negeri ini akan layu sebelum berkembang. Bagaimana mungkin niolai-nilai demokrasi bisa tumbuh dan berkembang secara kondusif kalau demokrasi dimaknai sebagai sikap besar kepala dan ingin menang sendiri? Bagaimana mungkin atmosfer demokrasi mampu menumbuhkan kedamaian, keadilan, dan ketenteraman kalau perbedaan pendapat ditabukan?

Dogma Menyesatkan
Sebenarnya pendidikan demokrasi di negeri ini bukanlah barang baru. Sejak 1957 hingga kini, Indonesia telah memiliki dan melakukan pendidikan demokrasi bagi warga negaranya. Namun, jika kita mengacu pada realitas di atas panggung sosial politik di negeri ini, secara jujur harus diakui, nilai-nilai demokrasi belum sepenuhnya bisa diapresiasi oleh segenap komponen bangsa. Perilaku politik kaum elite, misalnya, dinilai cenderung masih konservatif dan masih berorientasi pada politik kekuasaan dengan pijakan semangat primordialisme, baik yang berbaju kultural maupun keagamaan. Mainstream kalangan elite ini pun pada kahirnya akan mudah berimbas ke bawah dalam bentuk perilaku politik massa. Dalam konteks demikian, ada benarnya jika ada pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan demokrasi yang dilakukan pemerintah sepanjang kekuasaannnya telah gagal menghasilkan warga negara yang demokratis.
Kegagalan pendidikan demokrasi, dalam pandangan Azyumardi Azra (2001) dapat dilihat dalam tiga aspek yang saling terkait satu sama lainnya. Pertama, secara substantif, pelajaran PPKn, Pendidikan Pancasila dan Kewriraan tidak dipersiapkan sebagai matei pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan. Kedua, secara metodologi pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentif, monologis, dan tidak partisipatoris. Ketiga, subjek material lebih bersifat teoretis daripada praksis (Azra, 2001).
Selain faktor tersebut, menurut hemat penulis, kegagalan penanaman nilai-nilai demokrasi juga tidak terlepas dari buruknya pengakaran nilai-nilai demokrasi dalam dunia pendidikan kita. Sekolah bukan lagi menggambarkan masyarakat mini yang mencerminkan realitas sosial dan budaya, melainkan telah menjadi ruang karantina yang membunuh kebebasan dan kreativitas siswa didik. Guru belum mampu bersikap melayani kebutuhan siswa berdasarkan prinsip kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan –sebagai pilar-pilar demokrasi– tetapi lebih cenderung bersikap bak “diktator” yang memosisikan siswa sebagai objek yang bebas dieksploitasi sesuai dengan selera dan kepentingannya. Masih menjadi sebuah pemandangan yang langka ketika seorang guru tidak sanggup menjawab pertanyaan muridnya, mau bersikap ksatria untuk meminta maaf dan berjanji untuk menjawabnya pada lain kesempatan. Hampir sulit ditemukan, siswa yang melakukan kekhilafan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. Yang lebih sering terjadi adalah pola-pola indoktrinasi dan dogma-dogma menyesatkan. Siswa diposisikan sebagai pihak yang paling bersalah sehingga harus menerima sanksi yang sudah dirumuskan tanpa melakukan “kontrak sosial” bersama siswa. Ketika ada siswa yang mencoba bersikap kritis dengan bertanya: “Mengapa kalau guru terlambat tidak mendapatkan sanksi, sedangkan kalau siswa yang terlambat akan dikenai hukuman tanpa pembelaan? Bak seorang diktator, sang guru akan menjawab secara dogmatis bahwa hal itu sudah menjadi peraturan yang tak boleh ditawar-tawar lagi. Sungguh, sebuah dogma menyesatkan yang bisa membunuh nilai-nilai demokrasi dalam jiwa dan kepribadian siswa.
Magnet Demokrasi
Saat ini, negeri kita tampaknya membutuhkan model pendidikan demokrasi yang baru dalam dunia persekolahan kita. Idealnya, upaya membumikan nilai-nilai demokrasi tidak hanya dibebankan kepada mata pelajaran tertentu, seperti PPKn, misalnya. Akan tetapi, perlu ada kesamaan visi untuk menjadikan prinsip-prinsip demokrasi sebagai “roh” yang mewarnai kegiatan pembelajaran dengan mata pelajaran apa pun. Substansi pembumian nilai-nilai demokrasi bukan lagi dilakukan secara dogmatis dan indoktrinasi melalui ceramah, melainkan sudah dalam bentuk perilaku nyata sebagai perwujudan kultur demokrasi yang sesungguhnya.
Tujuan yang jendak dicapai melalui model pendidikan demokrasi semacam itu adalah tumbuhnay kecerdasan warga sekolah, baik secara spiritual, emosional, maupun sosial, rasa tanggung jawab, dan peran serta segenap komponen dunia persekolahan. Melalui upaya model pendidikan ini diharapkan akan terlahir kualitas generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial sehingga pada gilirannya kelak mampu menopang tumbuhnya iklim civil society (masyarakat madani) di Indonesia.
Seiring dengan berhembusnya iklim demokrasi di negeri ini, sudah saatnya dilakukan upaya serius untuk membumikan nilai-nilai demokrasi di kelas. Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban, tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa dan guru harus menjadi “roh” pembelajaran di kelas pada mata pelajaran apa pun. Interaksi guru dan siswa bukanlah sebagai subjek-objek, melainkan sebagai subjek-subjek yang sama-sama belajar membangun karakter, jatidiri, dan kepribadian. Profil guru yang demokratis tidak bisa terwujud dengan sendirinya, tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Kelas merupakan forum yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi.
Bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro, mewariskan semangat “ing madya mangun karsa” yang intinya berporos pada proses pemberdayaan. Di sekolah, guru senantiasa membangkitkan semangat berekplorasi, berkreasi, dan berprakarsa di kalangan siswa agar kelak tidak menjadi manusia-manusia robot yang hanya tunduk pada komando. Dengan cara demikian, kelas akan menjadi magnet demokrasi yang mampu menggerakkan gairah siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan keluhuran budi secara riil dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah bukan zamannya lagi, guru tampil bak diktator yang menggorok dan membunuh kebebasan dan kreativitas siswa dalam berpikir. Berikan ruang dan kesempatan kepada mereka di kelas untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang kritis dan dinamis. Tugas dan fungsi guru adalah menjadi fasilitator dan mediator untuk menjembatani agar siswa tidak tumbuh menjadi pribadi mekanistik yang miskin nurani dan antidemokrasi.
Bukankah membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional sebagaimana tersurat dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas? Kalau tidak dimulai dari ruang kelas, kapan anak-anak bangsa ini akan belajar berdemokrasi?

 Pembelajaran Demokrasi di Sekolah

Demokrasi adalah sesuatu yang penting bagi mereka, karena merekalah generasi masa depan, generasi pemimpin, generasi pengelola demokrasi negeri ini.Sehingga untuk kesekian kali saya begitu angkat jempol dengan sebuah “sekolah” yang mengajarkan tentang demokrasi kepada siswanya. Ada beberapa runtutan proses yang di lakukan sebagaimana meniru proses pemilu dan pilkada :
1. Seperti layaknya memilih Presiden, dibentuk sebuah lembaga pemilihan mirip KPU. KPU ala siswa ini diisi oleh anak-anak kelas IX, ada ketua dan sekertarisnya serta Penasehatnya (dari GURU sekolah).
2. Dibentuk pedoman Pilpres Siswa. : 1) Tahap-tahapan Pemilu, dan 2). Kriteria Presiden dan Wapres Siswa.
(Untuk kriteria, paling tidak seorang calon Presiden Siswa harus memnuhi kriteria sebagai berikut : 1). Murid kelas VII atau VIII, 2) hafal minimal 1/2 jus AlQuran, dan 3) Telah sampai pada Buku 2 Qiroaty untuk Bacaan Quran.)
3. Diadakan pemilihan awal, KPU siswa ini juga telah berhasil menyaring 4 paket kandidat Capres dan cawapres.
4. Dijadwalkan kampanye untuk para kandidat yang akan diselenggarakan pada 8 September 2008. Dan Hari-H Pencoblosannya, insyallah pada Senin, 15 September 2008.
5. Dijadwalkan sosialisasi sekaligus sebagai bahan kertas suara pemilihan nanti.
(Semua antusias dan bersemangat. Siapa calon yang terpilih memang penting, tapi lebih penting lagi adalah proses atau pengalaman yang mereka dapatkan selama terlibat dalam Pilpres Siswa ini. Bersuara dalam rapat, menjurnal hasil rapat, masuk ke kelas-kelas dan mensosialisakan hasilnya, menggunaan perangkat TIK untuk membuat iklan Pilpres, termasuk bagaimana caranya berkampanye atau meyakinkan para voters, adalah pengalaman berharga buat para siswa).
6. Dibentuk dari beberapa person KPU secara nonkelembagaan, akan mengadakan polling capres favorit via sms. Bagi calon terfavorit, akan dihadiahi sebuah Flashdisk 1Gb.
(Dari pendidikan politik ala sekolah ini, paling tidak bagi siswa pada umumnya, mereka ‘dilatih’ untuk mempertanggungjawabkan suara yang diberikannya. Kepada siapa suara diberikan? Dan untuk alasan apa? Itu adalah pertanyaan yang sama yang harus dijawab, tidak saja oleh siswa tapi juga oleh seluruh voters, termasuk nanti publik di Pilpres 2009)

2.2.3        Pelaksanaan Demokrasi Dalam Berbagai Aspek Kehidupan

Pelaksanaan Demokrasi terbuka luas. Era reformasi sekaligus merupakan era demokratisasi. Dalam suasana reformasi, tidak jarang penggunaan kebebasan tersebut sering berbenturan dengan kepentingan umum. Inilah yang perlu ditata lebih baik, sehingga penerapan kebebasan warga negara dan demokrasi tetap berada dalam koridor hukum dan tidak mengganggu kepentingan umum. Bagaimanapun juga reformasi telah membuka pintu kebebasan, yang hal ini sangat diperlukan bagi rakyat dalam proses menemukan sistem demokrasi yang lebih baik.
Pada awalnya, penerapan demokrasi lebih terfokus pada bidang politik atau sistem pemerintahan. Wujud penerapannya antara lain dengan penyelenggaraan pemilihan umum, pergantian pemegang kekuasaan pemerintahan, kebebasan menyatakan pendapat dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, konsep demokrasi juga diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, yakni dalam kehidupan ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan bidang- bidang kemasyarakatan lainnya. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya diterapkan dalam kehidupan bernegara,tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kehidupan yang demokratis adalah kehidupan yang melibatkan partisipasi rakyat dan ditujukan untuk kepentingan rakyat.

Bagaimana konsep demokrasi diterapkan dalam bidang ekonomi?
Apakah demokrasi ekonomi juga diterapkan di Indonesia? Apakah UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam bernegara juga memuat ketentuan tentang demokrasi ekonomi?
Coba perhatikan isi UUD 1945 pasal 33 berikut ini!
Ayat (1) : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Ayat (2) : Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ayat (4) : Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Salah satu bentuk kegiatan badan usaha yang bersifat demokratis adalah koperasi. Sejalan dengan semangat demokrasi, koperasi terkenal dengan semboyannya “dari anggota,
oleh anggota, dan untuk anggota”. Coba bandingkan dengan pernyataan Abraham Lincoln tentang demokrasi yang telah dikutip sebelumnya! Dalam koperasi, pemegang
kekuasaan tertinggi adalah rapat anggota. Rapat anggota berwenang meminta keterangan dan pertanggungjawaban pengurus maupun pengawas dalam menjalankan tugasnya. Rapat anggota itu diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun.
Dalam pasal 5 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi dinyatakan tentang prinsip-prinsip koperasi sebagai berikut.
1.                   keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
2.                   pengelolaan dilakukan secara demokratis
3.                   pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding
dengan besarnya jasa usaha masing-masing
4.                   pemberian balas jasa terbatas terhadap modal
5.                   kemandirian

Hal-hal diatas adalah hanya sebagian kecil contoh dari pentingnya kehidupan Demokrasi dalam kehidupan. Namun, yang perlu ditekankan disini adalah bagaimana kita memajukan Demokrasi itu sendiri dan mendahulukan kepentingan orang banyak dibandingkan kepentingan pribadi. Yang tujuannya diantaranya adalah :
-                      tegaknya hukum di masyarakat
-                      diakuinya HAM oleh setiap anggota masyarakat
-                      badan kehakiman yg bebas dan tdk memilih
-                      kebebasan mengemukakan pendapat, berserikat, dan beroposisi.
-                      hak individu terjamin secara konstitusional
-                      keputusan bersama akan memiliki kadar ketepatan dan kebenaran yg lebih menjamin



BAB 3
KESIMPULAN

1.      Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang.
2.      Demokrasi sebagai suatu proses, persemaiannya berawal dari rumah tangga yang harmonis (sakinah). Sementara di dalam rumah (keluarga) yang tidak harmonis, mustahil demokrasi bisa disemai
3.      Demokrasi adalah sesuatu yang penting bagi siswa, karena merekalah generasi masa depan, generasi pemimpin, generasi pengelola demokrasi negeri ini
4.      Salah satu bentuk kegiatan badan usaha yang bersifat demokratis adalah koperasi. Sejalan dengan semangat demokrasi, koperasi terkenal dengan semboyannya “dari anggota,
oleh anggota, dan untuk anggota”
5.      yang perlu ditekankan disini adalah bagaimana kita memajukan Demokrasi itu sendiri dan mendahulukan kepentingan orang banyak dibandingkan kepentingan pribadi.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.gudangmateri.com/2009/02/pentingnya-kehidupan-demokrasi-dalam.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
http://www.simpuldemokrasi.com/artikel-opini/1903-demokrasi-mulailah-dari-keluarga.html         
http://sawali.info/2008/01/01/membumikan-nilai-demokrasi-di-sekolah/
http://bapakethufail.wordpress.com/2008/09/05/pembelajaran-demokrasi-di-sekolah/

Jumat, 18 Maret 2011

Pengulangan pada C++

Pengulangan pada C++

- For

Struktur pengulangan jenis ini digunakan untuk melakukan pengulangan yang telah diketahui banyaknya. Jenis ini merupakan jenis pengulangan yang paling mudah dipahami.
contoh program :
# include <iostream.h>
Main ( )
{
Int batas ;
Cout << “ Nilai tertinggi = “ ;
Cin >> batas ;
For ( int i = 1 ; i < = batas ; i++ )
Cout << i << ‘ ‘ ;
Return 0 ;
}

- While

Struktur pengulangan jenis ini adalah pengulangan yang melakukan pengecekan kondisi di awal blok struktur. Kita tahu bahwa pengulangan hanya akan dilakukan jika kondisi yang didefinisikannya terpenuhi (bernilai benar)
contoh program :
# include <iostream.h>
Main ( )
{
Int I = 0 ;
While ( I < 10 )
{
Cout << “ Belajar C++ \n “ ;
I++ ;
}
Return 0 ;
}

- Do-While

Berbeda dengan while yang melakukan pengecekan di kondisi awal blok perulangan, pada struktur do-while kondisi justru ditempatkan dibagian akhir. Hal ini menyebabkan struktur pengulangan ini minimal akan melakukan satu kali proses walaupun kondisi yang didefinisikan tidak terpenuhi (bernilai salah).
contoh program :
# include <iostream.h>
Main ( )
{
Int I = 0 ;
Do
{
Cout << “ Belajar C++ \n “ ;
I++ ;
}
While ( I < 10 ) ;
Return 0 ;
}

program deret pada pascal


program menu pada c++

#include<iostream.h>
#include<conio.h>
int a[100][100],b[100][100],i,j,pil;
void input()
{
for(i=1;i<=2;i++)
  {
    for(j=1;j<=2;j++)
    {
    cout<<"masukkan elemen matriks A ["<<i<<"]["<<j<<"]";
    cin>>a[i][j];
    }
  }
for(i=1;i<=2;i++)
  {
    for(j=1;j<=2;j++)
    {
    cout<<"masukkan elemen matriks B ["<<i<<"]["<<j<<"]";
    cin>>b[i][j];
    }
  }
}
void output()
{
cout<<"\nMatriks A\n");
  for(i=1;i<=2;1++)
  {
    for(j=1;j<=2;j++)
    {
    cout<<a[i][j]<<" ";
    }
    cout<<"\n";
    }
cout<<"\n Matriks B\n";
  for(i=1;i<=2;1++)
  {
    for(j=1;j<=2;j++)
    {
    cout<b[i][j]<<" ";
    }
    cout<<"\n";
    }
  }
void main()
{
menu :
clrscr();
cout<<"\nMenu";
cout<<"\nInput Matriks";
cout<<"\nKeluar";
cout<<"\nPilihan :"; cin>>pil;
switch(pil)
{
case 1:
clrscr();
input();
getch();
goto menu;
case 2:
clrscr();
output();
cout<<"\nPenjumlahan Matriks\n";
for(i=1;i<=2;i++)
{
for(j=1;j<=2;j++)
{
cout<<a[i][j]+b[i][j]<<" ";
}
cout<<"\n";
}
getch();
goto menu;
case 3:
clrscr();
output();
cout<<"\nPerkalian Matriks\n";
for(i=1;i<=2;i++)
{
for(j=1;j<=2;j++)
{
cout<<a[i][j]*b[i][j]<<" ";
}
cout<<"\n";
}
getch();
goto menu;
case 4:
clrscr();
output();
cout<<"\nPenjumlahan Matriks\n";
for(i=1;i<=2;i++)
{
for(j=1;j<=2;j++)
{
cout<<a[j][i],b[j][i]<<" ";
}
cout<<"\n";
}
getch();
goto menu;
case 5:
break;
default:
cout<<"\nSalah";
getch();
goto menu'
}
}

program c++ membuat deret


Program PHP Membuat Deret